Sebelum waktu merangkak lebih cepat. Sebelum senja berganti
malam. Bahkan jauh sebelum itu aku mulai mengemas rapi semua kenang. Dengan harap,
saat nanti aku merindu aku tak salah kenang. Bersamaan dengan riuh arang
mulai terbakar, tawa yang memecah keheningan, hujan turun malam ini. Seolah hujan
ditakdirkan menemaniku mengorek luka yang mulai mengering. Banyak hal sudah
terlewati di 2016 ini.
Semakin larut, memori tentangmu membuatku kembali menerawang
jauh ke sana. Andai dipenghujung tahun itu aku bisa menjelaskan mungkin kita
masih baik-baik saja. Andai aku pandai mengolah kata, mungkin juga tidak akan
terjadi kesalah pahaman yang berkarat.
Kalau saja jiwa kita bisa bertukar, kita akan saling paham
apa yang kita rasa. Mengenai seberapa penting status bagimu. Juga bagaimana
rasa takutku dikecewakan. Karena bagiku dikecewakan saat gila akan cinta adalah
hal yang paling menyakitkan. Sedangkan bagimu, status berperan penting untuk berkomitmen.
Tak dapat dipungkiri. Saat kita bersama adalah hal yang
dapat membuatku nyaman. Namun sejak rasa kecewa yang kupunya, aku tak pernah
berani untuk bangkit dan kembali menjatuhkan hati. Seolah aku terlihat sedang
bermain dengan rasamu. Saat mengenang seperti ini, aku merasa bodoh telah
meragukan orang sepertimu. Yang bahkan lebih banyak tahu bagaimana aku daripada
diriku sendiri.
Kalau saja aku dapat memutar waktu, aku ingin mengulang
waktu agar saat itu kita tidak bertemu. Agar dirimu tak usah repot membantuku
menyembuhkan luka. Agar kamu tak merasakan lara sepertiku. Agar kamu tak perlu
repot menyelipkan doaku di dalam doamu. Agar hatimu tak ikut sesak saat aku
mengenang hariku bersamanya yang semakin pudar.
Aku tak menyalahkanmu jika keputusanmu pergi dari sisiku. Memang
orang mana yang mampu bertahan kebaikannya dibalas air tubah. Setelah kepergianmu,
ada yang berubah drastis. Tak ada lagi yang bisa kuandalkan saat isi kepalaku
sesak oleh kenang menusuk dari segala sisi. Tak pernah lagi kurasakan nyaman
yang kamu beri. Tak ada lagi tawa renyahmu yang membuatku ikut tertawa meski
candaanmu garing.
Terakhir aku melihat mata nanar mu di balkon perpustakaan
umum bersamaan gerimis yang kembali jatuh pertengahan Januari 2015. Dan saat
itu kau seoalah tak melihatku. Beberapa detik setelah punggungmu menghilang
dari pandang, aku menyadari ada hal lain yang tak kalah menyakitkan dari
dikecewakan. Yaitu dua orang yang pernah saling mengenal berhenti untuk saling
menyapa. Dan saat itu juga aku sadar, kamu telah berhasil membuat dirimu
sebagai candu.
Lima bulan berlalu. Dalam waktu itu pula aku menyembuhkan
semua lara yang tersisa. Sendiri. Aku juga masih ingat. Sore itu memberanikan
diri membuat janji denganmu untuk bertemu, dengan tujuan memperbaiki semuanya. Mempersiapkan
diri untuk kemungkinan yang terjadi nanti. Dan tanpa aku sadari aku tak
menyiapkan kemungkinan terburuk dari yang terburuk.
Saat aku baru
menginjakkan kaki di teras warung mang Udin, gerimis mulai membasahi kotaku. Entah
kenapa, sering kali saat kita bertemu hujan turun. Lagi dan lagi. Mungkin itu
pertanda dari Tuhan tentang kita. Bersamaan itu aku menemukan senyum yang kau
buat seindah mungkin. Kamu berdiri lalu kita berjabat tangan. Kala itu aku tak
peduli sekitar kita. Aku terlalu fokus pada setiap gerikmu yang amat bahagia. Kau
bercerita ini itu dengan bangga sampai hal yang yang tak pernah aku persiapkan
terjadi.
Kamu mengenalkan wanita yang duduk di sisi kirimu. Aku masih
ingat caramu mengenalkanku. “Oh iya, aku sampe lupa, saking lama kita gak
ketemu. Kenalin ini Citra. Pacarku.” Senyummu kembali melengkung semakin indah.
Dan aku menjabat tangan kekasihmu dengan segenap harapan yang sama sekali tidak
tersisa.
Kini, kamu masih bersamanya. Melewati banyak hal yang lebih
indah dari apa yang pernah kita lewati. Doa yang pernah aku minta sudah
terwujud. Melihat dirimu bahagia bersama orang yang bisa member apa yang kau
ingin. Sedangkan doamu untuk ku masih belum terwujud. Aku masih terus mengobati
luka yang kembali robek di tempat yang sama. Sudah kucukupi saja proses
pengabadian ini di sini. Dan ada hal yang aku pahami. Bahwa bertahan sendirian
dalam kenang bukanlah hal yang bisa terus dinikmati.