SINNA SHERINA FAIRUZIA
D-IV Keperawatan Malang
sinna.fairuzia@gmail.com
Menurut Depkes (2010), salah satu dari 3
pilar utama menuju Indonesia sehat adalah perilaku sehat. Perilaku sehat
merupakan perilaku pro aktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,
mencegah risiko terjadinya penyakit, melindungi dari ancaman penyakit. Secara
konkrit perilaku sehat tersebut dapat berupa budaya untuk berperilaku hidup
bersih dan sehat. Salah satunya adalah Hand Hygiene.
Hand hygiene adalah suatu pedoman yang
ditetapkan oleh Centers for Disease Control (CDC) (1985) untuk mencegah
penyebaran dari berbagai penyakit yang dikeluarkan melalui darah di lingkungan
Rumah Sakit maupun sarana pelayanan kesehatan lainnya. Hand hygiene merupakan
istilah umum yang sering digunakan untuk menyatakaan kegiatan yang berkaitan
membersihkan tangan. Menurut WHO (2009). Akyol (2005) mengemukakan salah satu
cara mencegah kontaminasi silang dari mikroorganisme sehingga dapat menurunkan
dan mencegah insiden kejadian infeksi nosokomial yaitu hand hygiene, baik itu
melakukan proses cuci tangan maupun disinfektan tangan. Mencuci tangan adalah
proses membuang kotoran dan debu secara mekanis dari kulit kedua belah tangan
dengan memakai sabun atau air. Tujuan cuci tangan adalah untuk menghilangkan
kotoran dan debu secara mekanis dari permukaan kulit dan mengurangi jumlah
mikroorganisme (Tietjen, 2003). Hand Hygiene merupakan faktor yang cukup
berpengaruh terhadap pencegahan terjadinya infeksi nosokmial di RS. Infeksi nosokomial (Hospital Acquired
Infection/Nosocomial Infection) adalah infeksi yang didapat dari rumah sakit
atau ketika penderita itu dirawat di rumah sakit.
Menurut World Health Organisation (WHO)
menyatakan bahwa angka kejadian INOS sebesar 5% pertahun. Sedangkan di Amerika
Serikat angka ini mencapai 6%. Di Indonesia INOS di rumah sakit dr. Cipto Mangunkusumo
berkisar 0-14,4%. Dalam buku Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit disebutkan
bahwa pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial merupakan pelayanan yang
wajib diselenggarakan oleh rumah sakit. Hand hygiene merupakan cara sederhana
untuk mencegah penularan infeksi di rumah sakit. Namun, dengan begitu tidak
serta merta membuat presentase kepatuhan tenaga medis terhadap penerapan hand hygiene
tinggi. Justru hand hygiene merupakan tindakan yang sering diabaikan oleh
tenaga medis.
Kegagalan untuk melakukan kebersihan dan
kesehatan tangan yang tepat dianggap sebagai sebab utama infeksi nosokomial
yang menular di pelayanan kesehatan. Penyebaran mikroorganisme multiresisten
dan telah diakui sebagai kontributor yang penting terhadap timbulnya wabah
(Kusmiyati,2010). Selain itu, Infeksi saluran kemih (ISK) adalah salah satu
infeksi nosokomial yang paling sering terjadi yaitu sekitar 40% dari seluruh
infeksi nosokomial yang dapat terjadi di rumah sakit setiap tahunnya (Arisandy,
2013). Hal tersebut merupakan ancaman tersendiri bagi tenaga kesehatan. Karena
dengan banyaknya kasus infeksi maka permasalahan-permasalahan dapat menjadi sebuah
masalah yang besar bagi tenaga kesehatan.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa
penularan penyakit menular dari pasien ke pasien terjadi melalui tangan petugas
kesehatan. Menurut Boyce, Larson menjaga kebersihan tangan dengan baik dapat
mencegah penularan mikroorganisme dan menurunkan frekuensi infeksi nosokomial.
Hand hygiene seharusnya menjadi perhatian bagi tenaga kesehatan. Bukan hanya
pribadi namun juga sudah seharusnya mendapat perhatian dari pihak pengolah
rumah sakit.
Pencegahan dan pengendalian infeksi
mutlak harus dilakukan oleh perawat, dokter dan seluruh orang yang terlibat
dalam perawatan pasien (Duerink dalam Fauzia & Ahsan, 2014). Cara paling
efektif untuk mencegah penularan infeksi yaitu dengan hand hygiene. Hand
hygiene dapat memutus rantai transmisi infeksi. Dengan hand hygiene maka indeks
penularan infeksi dapat diminimalisir
Angka kepatuhan hand hygiene di
Indonesia juga masih sangat rendah. Menurut penelitian Damanik (2011),
didapatkan angka kepatuhan perawat dalam melakukan hand hygiene hanya sebesar
48,3%. Menurut Pratama (2015), ditemukan bahwa tingkat kepatuhan melaksanakan
hand hygiene di IGD RSUD dr. Iskak Tulungagung masih sangat rendah yaitu
sebesar 36%. Menurut Supriyanto (2011), didapatkan angka kepatuhan perawat dalam
melakukan hand hygiene berdasarkan bangsal adalah 24,16% (Bedah), 26,09%
(Anak), 25,13% (Interna), 25,9% (HCU), 26,11% (PICU), dan 25,72% (ICU)
Ada beberapa hal yang menjadi faktor
penyebab hal ini terjadi yaitu kurangnya pengetahuan tentang pentingnya cuci
tangan, rendahnya pengawasan praktik mencuci tangan dan kurangnya gambaran yang
positif tentang cuci tangan. Faktor lain yang juga mendukung ketidaktaatan
adalah kekurangan tenaga di ruangan kerja dan jenis kelamin (Hassan, 2004). Menurut
Bramantya (2015:196), Berdasarkan studi literatur, beberapa faktor yang
mempengaruhi kebutuhan hand hygiene yaitu kurangnya fasilitas untuk mencuci
tangan, pengetahuan petugas kesehatan yang kurang, beban kerja tinggi,
rendahnya komitmen institusi untuk pelaksanaan Hand Hygiene yang baik.
Menurut Anietya dan Ekorini (2014),
tingkat kepatuhan hand hygiene mempunyai keterkaitan yang signifikan dengan
tingkat pengetahuan hand hygiene petugas kesehatan terhadap hand hygiene.
Dengan demikian, sudah seharusnya instansi terkait melakukan promosi kesehatan
Hand Hygiene kepada petugas kesehatan. Bukan hanya promosi kesehatan, namun
juga disertai dengan fasilitas yang sesuai untuk HH. Hal tersebut ditujukan
guna memberikan pengetahuan yang memumpuni untuk tenaga kesehatan, serta
mengurangi terjadinya infeksi nosokomial yang dapat membuat klien menjadi lebih
lama di RS yang tentu akan berpengaruh terhadap biaya yang dikeluarkan klien
tersebut.
Menurut teori Lawrence Green ada tiga
faktor utama yang mempengaruhi setiap individu dalam melakukan sebuah perilaku
dalam hal ini perilaku hand hygiene yaitu faktor pendorong (predisposing
factor), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai, persepsi.
Faktor penguat (reinforcing factor) yang terwujud dalam supervisi, peran kader,
tokoh agama, tokoh masyarakat. Faktor pemungkin (enabling factor), yang
terwujud dalam sarana dan prasarana, sumber daya, kebijakan, pelatihan
(Sutiyono dkk, 2014).
Berbagai penelitian dan konsep teori di
temukan berbagai faktor yang mempengaruhi pelaksanaan cuci tangan lima momen
antara lain adalah supervisi atau pengawasan, pengetahuan, pendidikan,
kepemimpinan, fasilitas atau infrastruktur, motivasi, pengalaman dan pelatihan
(Kurniadi, 2013). Menurut Kennedy et al
(2007) menyatakan supervisi klinis untuk memastikan kualitas pelayanan akan
meningkatkan upaya keselamatan pasien.
Perawat yang mendapatkan supervisi
cenderung patuh dibandingkan perawat yang tidak mendapatkan supervisi.
Supervisi merupakan bagian dari fungsi directing (pergerakan/pengarahan) dalam
fungsi manajemen yang berperan mempertahankan agar segala kegiatan yang telah
diprogramkan dapat dilaksanakan dengan benar dan lancar (Sitohang, 2016)
Cuci tangan harus selalu dilakukan
dengan benar sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan walaupun memakai
sarung tangan atau alat pelindung lain untuk menghilangkan atau mengurangi
mikroorganisme yang ada ditangan sehingga penyebaran penyakit dapat dikurangi
dan lingkungan terjaga dari infeksi. Cuci tangan tidak dapat digantikan oleh
pemakaian sarung tangan (Nursalam, 2010).
DAFTAR RUJUKAN
Damanik, S. M. (2012). Kepatuhan Hand Hygiene
di Rumah Sakit Immanuel Bandung. Students e-Journal, 1(1),
29.
Ernawati, E., Rachmi, A. T., & Wiyanto, S.
(2014). Penerapan Hand Hygiene Perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit. Jurnal
Kedokteran Brawijaya, 28(1), 89-94.
Fauzia, N., Ansyori, A., & Hariyanto, T.
(2014). Kepatuhan Standar Prosedur Operasional Hand Hygiene pada Perawat di
Ruang Rawat Inap Rumah Sakit. Jurnal
Kedokteran Brawijaya, 28(1),
95-98.
Handiyani,
Hanny., Fauzia, Sarah. 2014. Tingkat Pengetahuan dan Perilaku Kebersihan Tangan
pada Pengunjung Rumah Sakit. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia
HUSADA, S. T. I. K. K. TINGKAT PENGETAHUAN
SISWA TENTANG CUCI TANGAN PAKAI SABUN DI SMP N 2.
Indri, P. (2016). Hubungan Faktor
Perilaku dengan Pelaksanaan Langkah-langkah Hand Hygiene Perawat Di Ruang Rawat
Inap RSUD dr. Rasidin Padang Tahun 2016 (Doctoral dissertation,
Universitas Andalas).
Khoiruddin, K., Kirnantoro, K., & Sutanta,
S. (2015). Tingkat Pengetahuan Berhubungan dengan Sikap Cuci Tangan Bersih
Pakai Sabun Sebelum dan Setelah Makan pada Siswa SDN Ngebel Tamantirta,
Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia, 3(3),
176-180.
MEIDA, E. A. (2016). PENGARUH
PENDIDIKAN KESEHATAN HAND HYGIENE TERHADAP KEPATUHAN PROSEDUR 6 LANGKAH HAND
HYGIENE PADA KELUARGA PASIEN DI ICU RSUD PROF DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO(Doctoral
dissertation, UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO).
Nugraheni, R., & Winarni, S. (2012).
Infeksi Nosokomial di RSUD Setjonegoro Kabupaten Wonosobo. Media
Kesehatan Masyarakat Indonesia, 11(1), 94-100.
Ponco, S. H., & Faridah, V. N. (2016).
Penerapan Supervisi Klinis Kepala Ruang Untuk Meningkatkan Pelaksanaan Cuci
Tangan Lima Momen Perawat Pelaksana RSUD Bojonegoro.
Pratama, B. S., Koeswo, M., & Rokhmad, K.
(2015). Faktor Determinan Kepatuhan Pelaksanaan Hand Hygiene pada Perawat IGD
RSUD dr. Iskak Tulungagung. Jurnal Kedokteran Brawijaya, 28(2),
195-199.
Ritonga, E. P. (2018). PELAKSANAAN FIVE MOMENT
HAND HYGIENE DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT SWASTA KOTA MEDAN. Jurnal
Ilmiah Keperawatan Imelda, 3(2).
Waney, M. P., Kandou, G. D., & Panelewen,
J. (2016). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Penerapan Hand Hygiene di
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Tingkat III RW Mongisidi Manado. Community
Health, 1(3).
Widyanita, A., & Listiowati, E. (2014).
Hubungan Tingkat Pengetahuan Hand Hygiene dengan Kepatuhan Pelaksanaan Hand
Hygiene pada Peserta Program Pendidikan Profesi Dokter.
Wulandari, W. (2010). Hubungan antara
Tingkat Pengetahuan Perawat Tentang Pencegahan Infeksi Nosokomial dengan
Perilaku Cuci Tangan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta (Doctoral
dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta).